A.
Latar Belakang
Salah satu sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena
menjamin bebasnya untuk berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen
masyarakat. Gagalnya dalam mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu
oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa
diskriminatif yang dilakukan oleh merekayang dominan baik secara structural
maupun cultural. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan
kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang
termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada
gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi
telah dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling
berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup
kemungkinan lakilaki juga dapat mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu
masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial.
Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang
lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya.
Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan
gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik
secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal
dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, menjamin kesetaraan
hak-hak azasi, penyusun kebijakan yang pro aktif mengatasi kesenjangan gender
terutama dalam bidang pendidikan.
B.
Pengertian Kesetaraan Gender
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks (jenis kelamin). Kurangnya
pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam
pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan
social.
Hungu (2007) mengatakan “seks (jenis kelamin) merupakan perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks (jenis
kelamin) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya…..”.
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis
kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya
yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain
disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh
sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,
bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan
gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan
gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin
merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang
diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan
secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah
selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”.
Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender
merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan.
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini
setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan
tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai
peluang / kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti
mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional.
Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.
a. Sejarah Awal Perjuangan
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa
Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904
pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini
adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Ia lahir di tengah-tengah
keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di
depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum
ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan
adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa. Beliau dikenal sebagai salah satu
pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita kala ia
hidup.
Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati
jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat
merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara
kala Kartini dilahirkan. Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini
merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut
sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan
ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan
Majapahit.
Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri
bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu
peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah
dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting
seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan
keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.Pada abad 19, perempuan masih
sulit untuk memperoleh pendidikan seperti laki-laki. Dalam buku RA Kartini yang
sangat terkenal yaitu “habis gelap terbitlah terang” yang berisis surat-surat
dari RA Kartini dari buku tersebut dapat dilihat perjuangan RA Kartini untuk
memperjuangkan kaumnya untuk memperoleh pendidikan. Buku itu menjadi pendorong
semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya.
Kita bisa membaca buku dari kumpulan
surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal yang berjudul “Door Duistermis
tox Licht, (Habis Gelap Terbitlah Terang)". Surat-surat yang dituliskan
kepada sahabat - sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa
besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari
diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita
Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya
tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk
anak gadis di Jepara dan Rembang.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini
telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu
sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita
Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad
20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal.
Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria
bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan
pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan
sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun
teman - temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita - wanita
Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah
kebiasan kurang baik itu. Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di
Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat
menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana
kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai
E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S,
Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat - istiadat yang berlaku di
tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat
sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya
untuk menikah.
Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja
yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku
khususnya buku - buku mengenai kemajuan wanita seperti karya - karya Multatuli
"Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai
menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan
wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya
diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah
anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga
biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan
bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk
memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan
cita - citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis
di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran
menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut
bayaran alias cuma - cuma.
Bahkan demi cita - cita mulianya itu, dia
sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar
dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah
Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak
tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut,
orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati
Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan
semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan
sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum
menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh
wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat
masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan
Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang
berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa
khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu.
Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya
memajukan wanita negerinya. Kepada teman - temannya yang orang Belanda dia sering
menulis surat yang mengungkapkan cita - citanya tersebut, tentang adanya
persamaan hak kaum wanita dan pria.
Setelah meninggalnya Kartini, surat - surat
tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam
bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah
Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam
mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi
sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah
besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan
lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang
panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia
muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan
putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa
ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik
Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964,
tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari
Kartini.
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran
Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi,
masing - masing pihak memberikan pendapat masing - masing. Masyarakat yang
tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih
dengan pahlawan - pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim
mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA
Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya.
Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan
Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat
kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide
dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan
bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu
itu, tapi pikiran - pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau
tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga
nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam
sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama - nama pahlawan wanita kita
seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad
Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka
berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang
di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman
penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada
yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang
melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang
bangsa, pahlawan - pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan
yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita - cita, tekad,
dan perbuatannya. Ide - ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami
perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan
keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari
belenggu diskriminasi.
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu
kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak
tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak
dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama
yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat
otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan
kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah
masa pembinaan.
b. Program Pemeritah Wajib Belajar 9 Tahun
Pada tahun 2012 Pemerintah membuat peraturan
wajib belajar 9 tahun untuk seluruh anak di indonesia. Hal tersbut merupakan
upaya agara perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hak
mendapatkan pendidikan.
Pendidikan dasar 9 tahun diharapkan bahwa
setup warga negara akan memiliki kemampuan untuk memahami dunianya, mampu
menyesuaikan diri bersosiahsasi dengan perubahan masyarakat dan jaman, mampu
meningkatkan mutu kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya, politik dan
biologis, serta mampu meningkatkan martabatnya sebagai manusia warga negara
dari masyarakat yang maju. Dalam dunia baru ini setiap orang harus memiliki
potensi untuk bekerja di berbagai bidang dimanapun )uga. (Soedijarto. 1985:5,
Vembrirto, 1987)
Jika perluasan dan mutu pendidikan dilakukan
di dalam kerangka keterkaitan, maka pendidikan dasar 9 tahun secara langsung
berfungsi sebagai strategi dasar dalam upaya: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa
karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan golongan, agama,
suku bangsa, dan status sosial ekonomi; (2) menyiapkan tenaga kerja industri
masa depan melalui pengernbangan kemampuan dan keterampilan dasar belajar,
serta dapat menunjang terciptanya pemerataan kesempatan pendidikan kejuruan dan
profesional lebih lanjut; dan (3) membina penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, karena melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini
memungkinkan untuk dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang
memiliki kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi. (Sir Hardjoko Wirjomartono, :995:49-50).
Dalam PP nomor 29 tahun 1990 dapat kita lihat
adanya dua sasaran yang ingindicapai yaitu ; (1) pembekalan kemampuan dasar
yang dapat dikembangkan melnlw' kehidupan; (2) kemampuan dasar yang diperlukan
untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan Hadari
Nawawi (1994), tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan bekal kemampuan
dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi,
anggota masyarakat, warga negara clan anggota umat manusia serta mempersiapkan
peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Pendidikan wajib belajar 9 tahun secara hukum
merupakan kaidah yang bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara
konsepsional, dalam and tanpa pemisah dan merupakan satu satuan pendidikan,
pada jenjang yang terendah. Pengintegrasian secara konsepsional yang
menempatkan SD dan SLTP sebagai kesatuan program
dinyatakan melalui kurikulumnya yang
berkelanjutan atau secara berkesinambungan. Kedua bentuknya tidak
diintegrasikan secara fisik dengan tetap berbentuk dua lembaga yang terpisah,
masmg-masingy dengan kelompok belajar kelas I sampai dengan Kelas VI untuk SD
dan Kelas I sampai Kelas III untuk SLTP. (Hadari Nawawi, 1994:351).
c. Program Pemerintah Wajib Belajar 12 tahun
Wajib belajar 12 tahun merupakan program
lanjutan yang diawali tahun 2015 bahwa di wajibkan bersekolah 12 tahun. Hal ini
juga semata-mata untuk mewujudkan kesamaan kesempatan memperoleh pendidikan
laki-laki dan perempuan.
D. Kesetaraan Gender
dalam Bidang Pendidikan di Desa Karang Wangun
Kami mengambil 3 sampel untuk diwawancarai. Nama subjek yang kami samarkan demi melindungi privasi ibu-ibu tersebut. .Berikut adalah hasil dari wawancara kami kepada
beberapa ibu-ibu desa Karangwangun mengenai pendidikan anak perempuan dan
laki-laki.
Wawancara 1
Amri : Assalamualaikum ibu
Ibu S-1 : Walaikumsalam
Amri : ibu punya anak berapa bu?
Ibu S-1 : Punya anak empat, cowo satu
cewe 3
Amri : Kalau cewe lulusan apa bu?
Ibu S-1 : lulusan SMP ada 2 yang SMA ada
1
Amri : kalau yang cowo bu?
Ibu S-1 : kalau cwo SMP kelas 9 mau
lanjut SMK
Amri : mau lanjutin kuliah bu?
Ibu S-1 ; ngga, udah mentok SMK aja,
ngga punya uang
Fika : knapa yang cowo mau disekolah
SMK bu?
Ibu S-1 : iya kalau cwo buat nafkahin
istri.
Aris : Menurut ibu lebih utama
menyekolahkan yang cowo atau
yang cewe bu?
Ibu S-1 :
lebih utama yang cowo biar bisa kerja kasih makan anak istri
Dari Wawancara 1
dapat disimpulkan walaupun perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama
untuk sekolah tetapi beberapa masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak
laki-laki terlebih dahulu dibandingkan perempuan, dengan alasan untuk tulang
punggung keluarga nanti.
Wawancara 2
Amri :
ibu punya anak berapa bu?
Ibu S-2 :
ada tiga
Fika :
cewe atau cowo bu?
Ibu S-2 :
cowo 1 cewe 2
Amri :
usianya brapa bu?
Ibu S-2 : yang satu 19 tahun, yang kedua mau sma kelas
2, yang ketiga mau smp kelas 3.
Fara :
yang cowo gmna bu?
Ibu S-2 :
yang cowo smp aja ngga lulus keluar.
Feby :
kalau yang cewe bu?
Ibu S-2 :
yang cewe SMA jurusan jurnalistik.
Amri :
berarti yang cewe lebih tinggi ya bu pendidikanya.
Ibu S-2 :
iya yang cowonya males mungkin kebawa arus teman temannya.
Fara :
penting mana bu pendidikan cewe atau cowo?
Ibu S-2 :
kalau menurut ibu penting semua cewe cowo, tapi tergantung kamampuan orang tua.
Dari hasil Wawancara
2 Ibu sondarih tidak memilah memilih perempuan atau laki-laki terlebih dahulu
yang pemdidikanya diutamakan, semuanya disetarakan baik perempuan maupun
laki-laki. Hanya saja anak laki-laki ibu sondarih yang malas.
Wawancara 3
Amri :
Ibu punya anak berapa?
Ibu S-3 :
ibu anaknya empat
Fika :
sekolahnya gimana bu?
Ibu S-3 :
yang cewe smp, yang dua SMA yang satu Kuliah
Amri :
kenapa yang cewe SMP bu?
Ibu S-3 :
anaknya ngga mau sekolah lagi.
Amri : berarti ngga ada larangan cewe
cowo harus SMP aja atau SMA aja
Ibu S-3 : iya sama aja cewe cowo disekolahin.
Dari hasil Wawancara
3 juga sama dengan ke 2, tidak ada batasan pendidikan untuk perempuan dan
laki-laki semuanya sama setara, tetapi balik lagi dengan kemampuan orang tua
masing-masing dan anaknya.
Berikut ini kami tampilkan dokumentasi saat kami mewawancarai beberapa ibu-ibu mengenai kesetaraan gender dalam bidnag pendidikan di desa karang wangun.
E. Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan langsung dan wawancara dengan beberapa ibu-ibu di desa
Karangwangun, dapat di simpulkan bahwa. Kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan sudah cukup terlihat. Walaupun masih ada beberapa ibu-ibu yang masih
berfikir untuk lebih mementingkan menyekolahkan anak laki-laki. Dengan alasan
agar bisa menafkahi anak istrinya nanti.
Walaupun demikian dalam kenyataannya sudah banyak ibu-ibu yang menyerahkan
pendidikan sesuai dengan keinginan anaknya entah itu laki-laki maupun
perempuan.
F. Saran
Untuk selanjutnya semoga tidak ada lagi
perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan terutama dalam
pendidikan. Orang tua hendaknya memperikan kesempatan yang sama bagi anak untuk
mendapatkan
pendidikan
entah itu laki-laki ataupun perempuan.
Referensi:
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan(Kesetaraan Gender)
0 Komentar