Perfektif Pemimpin Perempuan dan Budaya Patriaki di Indonesia
Akhir-akhir ini terlihat seperti ada fenomena baru di wajah negeri kita. Srikandi-srikandi yang membuat perubahan dan dampak besar dalam kemajuan beberapa sektor tidak hanya dampak secara integritas pada bidangnya namun juga dampak besar dalam kehidupan sosial dan budaya. Seperti seolah ada pergeseran sosial budaya dimana sekarang lebih banyak perempuan-perempuan yang terlihat kompeten sebagai seorang pemimpin.
Saya tidak sedang membanding-bandingkan gender apalagi mendiskriminasi salah satu gender. Di sini saya sedang membicarakan fenomena baru dimana kesempatan untuk peran perempuan nampak mulai terbuka dan adil dalam berbagai sektor. Walaupun belum sepenuhnya berjalan baik namun setidaknya kini mulai ada kemajuan.
Akhir-akhir ini terlihat seperti ada fenomena baru di wajah negeri kita. Srikandi-srikandi yang membuat perubahan dan dampak besar dalam kemajuan beberapa sektor tidak hanya dampak secara integritas pada bidangnya namun juga dampak besar dalam kehidupan sosial dan budaya. Seperti seolah ada pergeseran sosial budaya dimana sekarang lebih banyak perempuan-perempuan yang terlihat kompeten sebagai seorang pemimpin.
Saya tidak sedang membanding-bandingkan gender apalagi mendiskriminasi salah satu gender. Di sini saya sedang membicarakan fenomena baru dimana kesempatan untuk peran perempuan nampak mulai terbuka dan adil dalam berbagai sektor. Walaupun belum sepenuhnya berjalan baik namun setidaknya kini mulai ada kemajuan.
Seperti Ratu Maharani Shima yang berkuasa atas kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah Tahun 674 Masehi.
Ratu Dyah Tulodong yang merupakan raja dari kerjaan Lodoyong (sekarang daerah Tulungagung Jawa Timur) tahun 1032 Masehi.
Sultanah Nahrasiyah berkuasa atas kesultanan Pasai yang terletak di Sumatera menggantikan suaminya Sultan Zain Al-Abidin Malik.
Maka jika kita menengok pada sejarah terdahulu pada saat masa kerajaan berjaya di tanah Nusantara. Tentunya kita tidaklah asing dengan pemimpin-pemimpin Perempuan. Lalu apa yang merubah pola dimana sekarang seolah kita menjadi aneh pada pemimpin-pemimpin perempuan. Hal tersebut tak lain adalah dampak dari kolonial Belanda. Dimana sudah kita ketahui bersama bahwa kita di jajah Belanda berabad-abad tahun. Karena hal tersbutlah kita diwariskan budaya Patriaki dimana perempuan tidak dianggap sebagai wanita seutuhnya terutama perempuan Pribumi. Dimana Perempuan hanya dipandang sebagai objek seksualitas dan menjadi pelayan semata (untuk referensi setidaknya hal ini bisa tergambarkan dalam trilogi Novel Bumi Manusaia yang juga sudah difilmkan). Sampai masa dimana lahirlah seorang wanita yaitu Dewi Sartika dan R.A Kartini yang memperjuangkan wanita kembali kepada posisi yang seharusnya.
Dengan tulisan ini penulis bermaksud untuk membuka kembali pola pikir orang-orang masih terpengaruh budaya patriaki yang masih menganggap bahwa laki-laki lebih tinggi dan lebih pantas untuk berkuasa. Maka kita ubah menjadi siapapun itu mau laki-laki atau perempuan jika dia memiliki kualitas dan kompeten maka dia berhak untuk diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin.
0 Komentar