Photo by
andres chaparro
from
Pexels
|
Mungkinkah kita akan duduk di sana.
Atau hanya duduk di ruang tengah, ruang tamu dan ruang tunggu.
Atau hanya duduk di depan jendela rumah.
Kopi instan yang selalu aku sajikan.
Mendengarkan lagu-lagu kesukaan bersama.
Setiap malam.
Setiap senja.
Setiap rindu.
Setiap rasa.
Suatu sore kau datang diam-diam tanpa pemberitahuan.
Kopi kita tersaji untuk dinikmati berdua.
Sambil mendengarkan lagu kesukaan.
Sampai angin malam mengusirmu pelan-pelan
dan membawamu pulang.
Di lain waktu.
Kau datang lagi di tempat duduk itu.
Membuatku jatuh, lagi, lagi dan lagi.
Mungkinkah kita akan duduk di sana.
Atau hanya duduk di ruang tengah, ruang tamu dan ruang tunggu.
Atau hanya duduk di depan jendela rumah.
Ilustrasi Cerita:
Ini sudah tahun ke-enam aku bersamanya. Hubungan kita memang terlihat baik-baik saja. Entah aku atau dia tak pernah menuntut lebih satu sama lain entah itu tentang waktu atau tentang temu. Ya karena tiga tahun ini aku dan dia tengah menjalain LDR atau hubungan jarak jauh. Tiga tahunku ku habiskan di SMA yang sama dengan dia. Namun semenjak kuliah kita jadi LDR.
Di hari jadian yang ke-enam rasanya aku tidak berharap lebih tentang keromantisan ala-ala remaja yang sedang kasmaran. Ucapan, harapan dan komitmen untuk ke kedapannya barangkali itu lebih penting dari sekedar kejutan-kejutan kecil.
Sekitar pukul 20.00 tiba-tiba saja ia datang tanpa pemberitahuan. Pada hari bahagia, aku merasa lega setidaknya di tahun ke-enam hubungan ini belum pada taraf membosankan. Dengan senyum khas wajahnya ku lihat dia kembali dan menatapnya lebih lama, sebelum ia berangkat lagi ke luar kota. Dia sangat hafal bahwa aku adalah penyuka kopi, dan dia pun setelah lama bersamaku jadi suka kopi juga. Entah mengapa ketika aku bertemu dengannya selalu ada banyak hal yang aku ceritakan padanya, begitu pun dia. Kita selalu duduk di depan rumah bahkan sampai dini hari dan waktu selama itu kita habiskan hanya dengan berbincang berdua. Kita memang tak pernah mengekang satu sama lain bahkan mungkin jarang berkomunikasi secara intens. Namun saat bertemu kita selalu merasa harus bicara lama berdua.
Pada malam menuju dini hari yang dingin, pikiranku mulai tidak tenang. Berbagai tanya mulai mendera. Mungkin aku dapat menikah dengannya (menikah dalam budaya indonesia sering disangkut pautkan dengan "duduk di pelaminan") atau hubungan kita hanya sebatas menghabiskan waktu.
Oke kira-kira begitulah ilustrasi cerita dari puisi saya yang berjudul "Tempat Duduk Kita". Barangkali kegelisahan tersebut wajar di alami banyak pasangan yang pacaran bertahun-tahun. Akankah berakhir pada tempat duduk yang orang sebut "duduk di pelaminan" atau hanya seatas duduk berdua di kafe-kafe, di ruang tamu dan di tempat duduk bioskop.
ditulis oleh Fika Rz
find me on Wattpad and Instagram @fika_rz
Jika kamu menyukai tulisan saya silahkan di share dengan menyertakan sumber dn penulis.
2 Komentar
Semoga sampe pelaminan yeay aamiin hihi